Sumber air di pegunungan, entah
itu danau, situ atau rawa, selalu indah untuk dinikmati. Jika Anda ke Bali tiga
danau di ketinggian tentu sering mendengar. Danau Buyan, Tamblingan dan Beratan.
Tentu saja danau ini sudah memiliki nama di Bali. Tidak jauh dari Jakarta, berjarak tiga jam
perjalanan kita dapat menikmati Rawa Gede, situ
di Desa Sirna Jaya, Suka Makmur,
Bogor.
“Bisa, kita bisa berangkat….badai sudah lewat,” begitu ujar lelaki berperawakan kurus dengan kulit legam “khas” orang orang pesisir. Sandri, begitu namanya ketika kami berkenalan. Jam masih pukul 9.00 pagi.
Rencana ke desa Betumonga memang
hari ini, pukul 7.30 pagi, dengan
menggunakan jalan laut, menyusuri Samudra Hindia selama kurang lebih 1,5 jam. Tapi sejak jam 6 pagi langit diselimuti awan gelap
yang bergerak dari arah timur. Tidak lama air bertumpah ruah dari langit,
diikuti angin yang bertiup kencang. Wah, perjalanan bisa batal. Karena semalam kami memutuskan akan ke desa Betumonga jika
cuaca bagus.
Tiga jam kemudian langit mulai
cerah. Hujan reda, kendati masih ada gerimis ringan. Anginpun terasa datar.
“Kita berangkat jam 11 ya, pak,” kata Sandri. Wajahnya cerah. Saya percaya
saja. Karena lelaki berusia 30 tahun ini telah puluhan tahun hidup di lautan
samudra. Dia sendiri menetap di desa yang akan kami kunjungi.
Sampan Kayu “Ketuko”
Sampai pagi ini ketika akan
berangkat belum terbayangkan akan naik perahu jenis apa. Saya juga tidak tanya.
Sandri hanya menghitung jumlah bensin yang dia butuhkan sebanyak 35 liter sekali jalan, berarti 70 liter ditambah
dia mengembalikan perahu sebanyak 35 liter. Itu belum oli. Jadi betapa mahalnya
perjalanan ke desa Betumonga melalui laut.
Ketika kemarin di Kapal Cepat,
saya bertemu dengan sesama penumpang, kebetulan orang Betumonga, yang tinggal
di Tuapejat, Ibukota Kabupaten Mentawai. “Sekitar 3,5 juta sekali jalan pak.
Bolak balik ya 7 juta,” ujarnya. Saya mendengar dengan dahi berkerenyit.
Faktanya memang begitu.
“Di sana pak, perahu Sandri…”
tunjuk seorang yang juga membawa Taksi Air. Saya lihat taksi air itu sejenis
dengan taksi air di kepulauan. Tapi saya ke Betumonga tidak dengan taksi air.
“Itu perahunya,” tunjuk teman
yang ikut mengantarkan ke desa. Di bibir pantai telah terparkir perahu kayu
sepanjang kira kira 5 meter. Tanpa
penutup. O, itu sejenis jukung atau sampan. Muat untuk 8 orang dan membawa barang barang. Sampan itu
dibuat dari kayu Ketuko, sejenis kayu meranti merah, yang banyak tumbuh di
Sipora. Kayu bulat itu sudah berusia puluhan tahun, dengan diameter 1 meter
lebih. Kayu itu dilubangi, sehingga terbentuk cekungan yang dalam. “ Ya,
sebulan buatnya, “ begitu jelas Sandri, pemilik perahu.
Berselancar Di Ketinggian Ombak 5 meter
Untuk melaut bukannya aku tak biasa. Naik perahu dari
Pulau Muna ke Kendari, atau dari Ambon ke Pulau Buru, atau ikut melaut ke Selat
Sunda sampai Pulau Krakatau pernah ku
lakukan. Tapi menyusuri Pulau Sipora untuk menuju Desa Betumonga melalui Samudra Hindia sungguh mendebarkan perasaan.
Bukannya Sampan tanpa atap, tetapi perjalanan sehabis badai reda menyisakan
gelombang laut dengan ketinggian lebih dari
4-6 meter.
Perjalanan selama 1,5 jam adalah
perjalanan berselancar dengan ombak antara 3 meter sampai 6 meter. Saya tidak
membayangkan perjalanan seperti ini. Ketika gulungan ombak terlihat begitu
tinggi, mesin dimatikan oleh Sandri. Sampan terangkat ombak, pasrah saja ketika
perahu di ketinggian, dan tidak lama seperti terbanting. Ini lah sensasi yang
menggetarkan….
Pantai Pasir Putih
Setelah diterjang ombak tinggi, entah berapa kali, dan
diguyur percikkan air laut sehingga
seluruh badan kami basah semua, sampan mulai berbelok ke Muara Trayek, salah
satu dusun di Batumonga. Di dusun ini
lah Kepala Desa dan Kantor Desa ditempatkan. Tentu saja untuk masuk ke muara
sungai trayek tidaklah mudah karena pertemuan ombak dari laut dan sungai.
“Paling sulit di sini pak,” kata
Nakhoda Sandri. Tapi bukan Sandri kalau
tidak bisa mengatasi. Tidak berapa lama
sampan masuk sungai. Ternyata memiliki keindahan tersendiri menyusuri sungai
trayek ini. Kiri kanan sungai ditumbuhi oleh pohon pohon nipah yang lebat.
“Ini tumbuh sendiri nipah nya
pak,” cerita Henri, yang membantu Sandri mengendalikan sampan sejak tadi. Nipah
nipah ini memang belum dimanfaatkan oleh penduduk. Sayang.
Tidak lama kami sampai di
pendaratan sampan. Tidak jauh kami berjalan sudah ada di pantai yang berpasir putih. Tentu saja pantai ini masih
sepi. Tidak ada wisatawan. Bersyukurlan saya menjejakkan ke pantai ini. Pantai
yang indah dengan pasir putih dihiasi oleh pohon kelapa yang lebat. Setiap saat
mendengar deburan ombak yang bergemuruh indah.
Siapa minat? ***
Danau Beratan, siapa yang tidak tahu? Dari sekian banyak danau terkenal di Bali, Danau Beratan adalah danau yang tidak luput dikunjungi. Terletak di atas +/- 1000 DPL Danau ini merupakan sumber mata air yang tidak dapat diabaikan. Bersama Danau Buyan dan Danau Tamblingan, yang berdekatan dengannya adalag danau danau yang menentukan kehidupan penduduk dibawahnya (Buleleng, Tabanan) dan bahkan Bali.
Jika bertandang ke danau ini di atas jam 10 pagi. Tapi jika anda ingin menikmati kesunyian cobalah datang pagi hari. Kita bisa melihat matahari merayap naik dari sela sela perbukitan. Selain itu, anda juga dapat bertandang ke Pura Ulun Danu. Silahkan...
Pleurotes (Jamur Tiram) adalah sumber bahan pangan Jamur-jamur yang dibudidayakan di Indonesia terbukti memiliki kandungan gizi tinggi, mencapai 19-35 kandungan protein lebih tinggi ketimbang beras (7,38%) dan gandum (13,2%). Jamur juga mengandung zat yang mampu menangkal radikal bebas sehingga bila dikonsumsi secara tepat dapat menjaga daya tahan tubuh
Rambak adalah kerupuk dari terigu yang diolah bersama bumbu bumbu dapur seperti bawang putih, garam, dan sebagainya. Proses pembuatannya tidak semudah menghabiskannya. Proses olahan yang cukup lama antara lain mendinginkan bahan olahan setelah diolah di pemanas......