Berselancar Menuju Desa Berpantai Pasir Putih

19.11



 
“Bisa, kita bisa berangkat….badai sudah lewat,”  begitu ujar lelaki berperawakan kurus dengan kulit legam  “khas” orang orang pesisir.  Sandri, begitu namanya ketika kami berkenalan. Jam masih pukul 9.00 pagi.
                Rencana ke desa Betumonga memang hari ini, pukul 7.30 pagi,  dengan menggunakan jalan laut, menyusuri Samudra Hindia selama kurang lebih 1,5 jam. Tapi  sejak jam 6 pagi langit diselimuti awan gelap yang bergerak dari arah timur. Tidak lama air bertumpah ruah dari langit, diikuti angin yang bertiup kencang. Wah, perjalanan bisa batal. Karena semalam  kami memutuskan akan ke desa Betumonga jika cuaca bagus.
                Tiga jam kemudian langit mulai cerah. Hujan reda, kendati masih ada gerimis ringan. Anginpun terasa datar. “Kita berangkat jam 11 ya, pak,” kata Sandri. Wajahnya cerah. Saya percaya saja. Karena lelaki berusia 30 tahun ini telah puluhan tahun hidup di lautan samudra. Dia sendiri menetap di desa yang akan kami kunjungi.

Sampan Kayu “Ketuko”
                Sampai pagi ini ketika akan berangkat belum terbayangkan akan naik perahu jenis apa. Saya juga tidak tanya. Sandri hanya menghitung jumlah bensin yang dia butuhkan sebanyak  35 liter sekali jalan, berarti 70 liter ditambah dia mengembalikan perahu sebanyak 35 liter. Itu belum oli. Jadi betapa mahalnya perjalanan ke desa Betumonga melalui laut.
                Ketika kemarin di Kapal Cepat, saya bertemu dengan sesama penumpang, kebetulan orang Betumonga, yang tinggal di Tuapejat, Ibukota Kabupaten Mentawai. “Sekitar 3,5 juta sekali jalan pak. Bolak balik ya 7 juta,” ujarnya. Saya mendengar dengan dahi berkerenyit. Faktanya memang begitu.
                “Di sana pak, perahu Sandri…” tunjuk seorang yang juga membawa Taksi Air. Saya lihat taksi air itu sejenis dengan taksi air di kepulauan. Tapi saya ke Betumonga tidak dengan taksi air.
                “Itu perahunya,” tunjuk teman yang ikut mengantarkan ke desa. Di bibir pantai telah terparkir perahu kayu sepanjang kira kira  5 meter. Tanpa penutup. O, itu sejenis jukung atau sampan. Muat untuk  8 orang dan membawa barang barang. Sampan itu dibuat dari kayu Ketuko, sejenis kayu meranti merah, yang banyak tumbuh di Sipora. Kayu bulat itu sudah berusia puluhan tahun, dengan diameter 1 meter lebih. Kayu itu dilubangi, sehingga terbentuk cekungan yang dalam. “ Ya, sebulan buatnya, “ begitu jelas Sandri, pemilik perahu.


Berselancar Di Ketinggian Ombak 5 meter
                Untuk melaut bukannya aku tak biasa. Naik perahu dari Pulau Muna ke Kendari, atau dari Ambon ke Pulau Buru, atau ikut melaut ke Selat Sunda sampai Pulau Krakatau  pernah ku lakukan. Tapi menyusuri Pulau Sipora untuk menuju Desa Betumonga melalui  Samudra Hindia sungguh mendebarkan perasaan. Bukannya Sampan tanpa atap, tetapi perjalanan sehabis badai reda menyisakan gelombang laut dengan ketinggian lebih dari  4-6  meter.
                Perjalanan selama 1,5 jam adalah perjalanan berselancar dengan ombak antara 3 meter sampai 6 meter. Saya tidak membayangkan perjalanan seperti ini. Ketika gulungan ombak terlihat begitu tinggi, mesin dimatikan oleh Sandri. Sampan terangkat ombak, pasrah saja ketika perahu di ketinggian, dan tidak lama seperti terbanting. Ini lah sensasi yang menggetarkan….

Pantai Pasir Putih
                Setelah diterjang ombak tinggi, entah berapa kali, dan diguyur percikkan air laut  sehingga seluruh badan kami basah semua, sampan mulai berbelok ke Muara Trayek, salah satu dusun di Batumonga.  Di dusun ini lah Kepala Desa dan Kantor Desa ditempatkan. Tentu saja untuk masuk ke muara sungai trayek tidaklah mudah karena pertemuan ombak dari laut dan sungai.

                “Paling sulit di sini pak,” kata Nakhoda Sandri.  Tapi bukan Sandri kalau tidak bisa mengatasi.  Tidak berapa lama sampan masuk sungai. Ternyata memiliki keindahan tersendiri menyusuri sungai trayek ini. Kiri kanan sungai ditumbuhi oleh pohon pohon nipah yang lebat.
                “Ini tumbuh sendiri nipah nya pak,” cerita Henri, yang membantu Sandri mengendalikan sampan sejak tadi. Nipah nipah ini memang belum dimanfaatkan oleh penduduk. Sayang.
                Tidak lama kami sampai di pendaratan sampan. Tidak jauh kami berjalan sudah ada di pantai yang  berpasir putih. Tentu saja pantai ini masih sepi. Tidak ada wisatawan. Bersyukurlan saya menjejakkan ke pantai ini. Pantai yang indah dengan pasir putih dihiasi oleh pohon kelapa yang lebat. Setiap saat mendengar deburan ombak yang bergemuruh indah.
Siapa minat? ***

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Facebook